Memaknai Caru..

Caru dalam hal ini adalah suatu upacara yang termasuk upacara Bhuta Yadnya..yaitu upacara yang ditujukan kepada mahluk-mahluk yang dianggap sebagai mahluk bawah dari manusia…Caru berarti suatu kecantikan atau suatu keharmonisan…Jadi berdasarkan arti dari caru itu sendiri, maka caru bertujuan untuk menjaga suatu keharmonisan dari kehidupan manusia itu sendiri…

Terdapat 5 Yadnya yang diketahui atau di ajarkan dalam Agama HIndu…yaitu :

1.Dewa Yadnya…Upacara menghormati dan pengorbanan kepada Dewa…

2.Pitra Yadnya..Upacara menghormati dan pengorbanan kepada Leluhur…

3.Manusa Yadnya…Upacara menghormati dan memperingati kehidupan sebagai manusia…

4.Rsi Yadnya..Upacara menghormati dan pengorbanan kepada guru…

5.Bhuta Yadnya..Upacara mengharmonisasikan dunia dan pengorbanan kepada para bhuta..

Hal ini didasarkan pada tiga hutang manusia , yaitu Tri rna…dewa rna, pitra rna , Rsi rna…

Dunia itu benarlah bahwa manusia tidak sendiri hidup di atasnya..masih ada mahluk-mahluk lain selain pula tumbuhan dan hewan-hewan serta mahluk-mahluk bawahan..agar kehidupan bersifat atau menuju suatu keharmonisan tentunya ada suatu simbol-simbol yang mungkin bisa dicanangkan dalam memaknai serta teryakini nantinya terjadi suatu keharmonisan tersebut…

Penggunaan hewan dan tumbuh-tumbuhan serta bebanten lainnya, merupakan simbol-simbol diri, serta simbol-simbol yang menggambarkan bagaimana rupa Tuhan itu yang terciptakan dalam bentuk tersebut…Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan, sebagai berikut, ” ….. Sehananing bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka Andha Bhuwana.” Artinya, semua bebanten adalah lambang dirimu sendiri, lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang isi alam semesta. Hewan-hewan yang digunakan dalam pecaruan sebenar-benarnya akan ditingkatkan hidupnya menjadi lebih baik yang berhubungan dalam suatu keyakinan samsara selanjutnya…

Dalam kitab Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita artinya menyejahtrakan alam lingkungan. Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu artinya alam yang cantik…Dari hal tersebut dapat dijelaskan pula Tri hita karana manusia yang selalu harus ingat kepada lingkungan (Palemahan)…

Kitab suci Manawa Dharmasastra Buku ke-tiga (Tritiyo dhyayah) pasal 74 menyebutkan:

JAPO HUTO HUTO HOMAH, PRAHUTO BHAUTIKO BALIH, BRAHMYAM HUTAM DWIJA, GRYARCA PRASITAM PITR TARPANAM

Artinya: Ahuta adalah pengucapan doa dari Veda. Huta persembahyangan homa, Prahuta adalah upacara bali (wali) yang dihaturkan diatas tanah kepada para Bhuta. Brahmahuta, yaitu menerima tetap Brahmana secara hormat seolah-olah menghaturkan kepada api yang ada dalam tubuh Brahmana dan Prasita adalah persembahan tarpana kepada para pitara.

Dhyayah yang sama pada pasal 75 menyebutkan:

SWADHYAYE NITYAYUKTAH, SYADDAIWE CAIWEHA KARMANI, DAIWAKARMANI YUKTO HI, BIBHARTIMDAM CARACARAM

Artinya: Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala keluarga sehari-hari menghaturkan mantra-mantra suci Veda dan juga melakukan upacara pada para Dewa karena ia yang rajin dalam melakukan upacara kurban pada hakekatnya membantu kehidupan ciptaan Tuhan yang bergerak maupun tak bergerak.

Pasal 81:

SWADHYAYANARCAYER, SAMSIMNHOMAIR DEWANYATHAWIDHI, PITRRN CRADDHAISCA NRRNAM, NAIRBHUTANI BALIKARMANA

Hendaknya ia (kepala keluarga) sembahyang yang sesuai menurut peraturan kepada Rsi dengan pengucapan Veda, kepada Dewa dengan haturan yang dibakar, kepada para leluhur dengan srada, kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada Bhuta dengan upacara kurban.

Mengenai pembunuhan binatang atau penggunaan hewan/ binatang dalam persembahan atau kurban diatur dalam Manawa Dharmasastra Buku ke-lima (Atha Pancamo dhyayah) Pasal 22:

YAJNARTHAM BRAHMANAIRWADHYAH, PRASASTA MRIGAPAKSINAH, BHRITYANAM CAIWA WRITTYARTHAM, AGASTYO HYACARATPURA

Hewan-hewan dan burung-burung yang dianjurkan untuk bisa dimakan, boleh dibunuh oleh Brahmana-Brahmana untuk upacara kurban (Bhuta yadnya) dan juga untuk diberikan kepada mereka yang patut diberi makan, karena Rsi Agastyapun melakukan hal itu di jaman dahulu.

Pasal 23:

BABHUWURHI PURODASA, BHAKSYANAM MRIGAPAKSINAM, PURANESWAPI YAINESU BRAHMAKSATRA-SAWESU CA

Karena pada masa purba, kueh-kueh sesajen dibuat dari daging binatang-binatang dan burung yang bisa dimakan pada upacara-upacara kurban (Bhuta yadnya) yang dilakukan oleh para Brahmana dan Ksatria.

Pasal 31:

YAJNAYA JAGDHIR MAMSASYETYESA DAIWO WIDHIH SMRITAH, ATO NYATHA PRAWRITTISTU RAKSASO WIDHIRUCYATE

Pemakaian daging adalah wajar untuk upacara kurban (Bhuta yadnya), hal mana dinyatakan sebagai peraturan yang dibuat oleh para Dewa, tetapi jika memaksa memakainya dalam kejadian lain adalah peraturan yang cocok untuk para Raksasa.

Pasal 39:

YAJNARTHAM PASAWAH SRISTAH, SWAMEWA SAYAMBHAWA, YAJNASYA BHUTYAI SARWASYA, TASMADYAJNE WADHO WADHAH

Swayambhu (Tuhan) telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara kurban (Bhuta yadnya), upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi ini, dengan demikian penyembelihan hewan untuk upacara bukanlah penyembelihan dalam arti lumrah saja.

Pasal 40:

OSADHYAH PASAWO WRIKSASTIR YANCAH PAKSINASTATHA, YAJNARTHAM NIDHANAM PRAPTAH, PRAPNU WANTYUTSRITIH PUNAH

Tumbuh-tumbuhan, semak, pohon-pohonan, ternak, burung-burung lain yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkatan yang lebih tinggi pada kelahiran yang akan datang.

Pasal 42:

ESWARTHESU PACUNHIMSAN VEDA TATTWARTHAWID DWIJAH, ATMANAM CA PASUM CAIWA GAMAYATYUTTAMAM GATIM

Seorang Dwijati (Brahmana) yang mengetahui arti sebenarnya dari Weda, menyembelih seekor hewan dengan tujuan-tujuan tersebut di atas menyebabkan dirinya sendiri bersama-sama hewan itu masuk ke keadaan yang sangat membahagiakan.

Berikut ini dijelaskan batasan-batasan yang disebut segehan, caru, maupun tawur:
Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.
Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru.
Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan di dikpala dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.
Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di dikpala, di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah.
Dalam “Lontar Carcaning Caru”, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya.
Caru
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “Caru“. Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. menurut “lontar Carcaning Caru” jenis-jenis caru adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.
Baten caru berfungsi sebagai pengharmonis atau penetral buwana agung (alam semesta), di mana caru ini bisa dikaitkan dengan proses pemlaspas maupun pangenteg linggihan pada tingkatan menengah (madya). Usia caru ini 10-20 tahun, tergantung tempat upacara. Penyelenggaraan caru juga dapat dilaksanakan manakala ada kondisi kadurmanggalan dibutuhkan proses pengharmonisan dengan caru sehingga lingkungan alam kembali stabil.
Tawur
Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur. Adapun yang digolongkan tawur dimulai dari tingkatan balik sumpah sampai dengan marebu bumi—sesuai dengan yang tersurat dalam “lontar Bhama Kertih” digolongkan sebagai upacara besar (utama) yang diselenggarakan pada pura-pura besar. Tawur ini memiliki fungsi sebagai pengharmonis buwana agung (alam semesta). Adapun tawur ini memiliki kekuatan mulai dari 30 tahun, 100 tahun (untuk eka dasa rudra), dan 1000 tahun untuk marebu bumi.
Tawur dilaksanakan pada tingkatan utama, baik sebagai pangenteg linggih maupun upacara-upacara rutin yang sudah ditentukan oleh aturan sastra atau rontal pada berbagai pura besar di Bali. Tawur ini memiliki makna sebagai pamarisuddha jagat pada tingkatan kabupaten/kota, provinsi, maupun negara. misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.

salam..gwar..

2 tanggapan untuk “Memaknai Caru..

  1. maaf.. saya orang yang di luar agama Hindu.. tapi saya tertarik dengan Hindu sendiri…
    saya mau bertanya…
    caru merupakan kurban binatang kepada bhuta kala…
    dengan cara apa caru itu dipersembahkan..? maksudnya, caru tersebut diletakkan dimana dan diapakan ?
    mohon penjelasanya…
    makasih

    Suka

    1. caru itu banyak jenisnya..maksudnya terdiri berbagai-bagai variasi tergantung dari pentingnya upacara caru itu dilakukan, serta dari tingkatan-tingkatan caru tersebut…misalkan banten saiban, yaitu caru terkecil di mana caru itu menggunakan nasi berbagai warna diletakkan di bawah atau di tempat tertentu setiap hari…ada juga caru panca sata menggunakan ayam brumbun ditambah berbagai banten di sekitar caru tersebut…ada juga yang lebih besar menggunakan anjing belang bungkem, itu disesuaikan dengan kepentingannya….

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.